SEMARANG – Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) dr Yan Wisnu Prajoko mengakui adanya praktik perundungan yang menimpa para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi.

Menurut Yan, perundungan itu terjadi secara sistematik dan kultural.

Beberapa bentuk perundungan itu, kata Yan, berupa fisik, sistem jam kerja, juga kewajiban iuran.

“Kalau (perundungan) fisik, tidak terlalu (banyak). Lebih banyak terkait perundungan jam kerja dan iuran,” kata Yan dalam konferensi pers di Gedung A Fakultas Kedokteran Undip Semarang, Kota Semarang, Jumat (13/9/2024).

Yan mengatakan, perundungan melalui beban jam kerja bisa terjadi karena bagian anestesi melekat dengan semua layanan operasi di rumah sakit.

Mahasiswa PPDS anestesi yang menjalani residen tak hanya melayani di bagian ruangan ICU tapi melayani di titik-titik layanan lain.

“Seharusnya, dari 84 mahasiswa (PPDS) dengan 20 dokter di rumah sakit (RSUP Kariadi), kalau tidak bisa membagi, ini perlu pendalaman.”

“Semestinya, kalau beban kerja besar dengan SDM-nya juga besar maka potensi (kerja overtime) seperti ini tidak muncul,” jelasnya.

Beban kerja berat yang dialami mahasiswa PPDS Anestesi sempat dikeluhkan dr Aulia Risma melalui ibunya, Nuzmatun Malinah (57).

Nuzmatun lalu menyampaikan keluhan anaknya ke kepala prodi (kaprodi) Anestesi Undip.

Namun, menurut pihak keluarga, aduan itu tidak direspon.

Yan menyebut, tidak mengetahui persis aduan tersebut. Dia baru menjadi Dekan FK Undip pada 15 Januari 2024.

Yan pun mengaku menyadari adanya perundungan dan iuran besar yang dibebankan kepada mahasiswa PPDS Anestesi pada Maret 2024.

Keluhan almarhumah soal jam kerja, lanjut dia, sepenuhnya mengikuti sistem pelayanan rumah sakit karena sebagai mahasiswi PPDS sedang praktik di rumah sakit.

“Saya tidak tahu persis hal tersebut,” ungkapnya.

3 Mahasiswa Dipecat

Yan mengakui, kasus perundungan di Fakultas Kedokteran Undip Semarang juga pernah terjadi sebelumnya.

Bahkan, dalam rentang tahun 2021-2023, Yan mengatakan, ada 3 mahasiswa yang dikeluarkan akibat kasus perundungan.

Belum lagi, belasan pelaku perundungan lain yang diberi sanski skorsing maupun teguran.

“Kasus itu (perundungan) tidak hanya (terjadi di) prodi anestesi tapi macam-macam (prodi),” paparnya.

Ketika pelaku perundungan terhadap dr Aulia Risma Lestari terungkap, Yan menuturkan, sanski sudah menunggu bagi pelaku.

Namun, sanksi dari kampus berpatokan kepada instruksi menteri yang mengatur perundungan.

“Ada sanski ringan, sedang, berat, sampai dikeluarkan itu ada, nanti tinggal melihat kesalahannya,” terangnya.

Dokter Onkologi ini mengeklaim, sebenarnya sudah berusaha menghentikan budaya perundungan melalui surat edaran yang dikeluarkannya pada 25 Maret 2024.

Ada tiga poin yang diatur dalam surat edara itu, meliputi mitigasi potensi perundungan, kewaspadaan para pejabat kampus terhadap perundungan, dan kewajiban perizinam ketika memobilisasi mahasiswa PPDS.

“Jadi, sebetulnya, saya itu ingin mengendalikan potensi-potensi perundungan,” dalihnya.

Kendati begitu, dirinya meminta maaf kepada masyarakat terkait proses pendidikan, khususnya kedokteran spesialis, yang belum ideal.

Yan berjanji melakukan perbaikan dalam proses pendidikan, khususnya dokter spesialis.

“Kami mohon dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk kami dapat melanjutkan proses pendidikan kedokteran spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, khususnya saat ini adalah program studi anestesi dan perawatan intensif,” terangnya.

sumber: TribunBanyumas.com

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo