SRAGEN – Hakim memvonis dua anak dengan hukuman empat tahun pidana penjara dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Senin (26/8/2024). Dua anak tersebut didakwa terlibat dalam kasus kekerasan terhadap DWW, 14, asal Ngawi, Jawa Timur, hingga akhirnya meninggal dunia di Pondok Pesantren (Ponpes) Ta’mirul Islam Masaran, Sragen pada 19 November 2022 lalu.

Kasus tersebut merupakan lanjutkan dari putusan hakim yang sudah memvonis pelaku penganiayaan MH, 17, dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp50 juta pada 5 Mei 2023.

Sidang pembacaan vonis terhadap dua terdakwa, yakni SAD asal Boyolali dan IDS asal Klaten dipimpin hakim tunggal Indra Kusuma Haryanto. Putusan hakim tersebut lebih ringan daripada tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tri Agung Santoso.

JPU Kejari Sragen, Tri Agung Santoso, didampingi Kasi Pidana Umum Kejari Sragen Kunto Trihatmojo, saat ditemui wartawan, Senin sore, menjelaskan dakwaan pada Pasal 80 ayat (3) UU No. 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh UU No. 17/2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2016 tentang perubahan Kedua Atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terbukti dalam persidangan.

Tri mengatakan pasal tersebut menerangkan tentang tindak pidana secara bersama-sama turut serta membiarkan, menempatkan, atau melakukan kekerasan yang mengakibatkan meninggal dunia.

“Amar putusan untuk kedua terdakwa masing-masing divonis empat tahun pidana penjara. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni lima tahun pidana penjara. Selain itu ada kumulatif denda, kalau terdakwa dewasa dikenakan denda tetapi dalam sistem peradilan anak diganti dengan pelatihan kerja selama empat bulan di Tanon, Sragen,” jelasnya.

Tri menjelaskan jaksa juga mengajukan permohonan restitusi terhadap pelaku anak senilai Rp57.420.000 yang ditanggung kedua terdakwa. Angka tersebut merupakan hasil perhitungan dari Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPKS). Restitusi itu, jelas dia, dibayarkan selama 30 hari setelah putusan inkracht dari PN. Kalau tidak dibayarkan, ujar dia, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama empat bulan.

“Terdakwa diberi waktu tujuh hari oleh hakim untuk menentukan sikap. Kami dari jaksa juga menunggu waktu tersebut. Kalau terdakwa banding, kami turut banding. Kalau terdakwa menerima, kami juga menerima. Sebenarnya ancaman dalam pasal itu 15 tahun dan tuntutannya setengah dari ancaman atau 7,5 tahun,” ujarnya.

Perwakilan Tim Kuasa Hukum keluarga korban dari pengacara delegasi 911 Hotman Paris, Dhea Sasqia, sudah mengikuti pembacaan putusan atas perkara kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya santri, DWW, di PN Sragen. Amar putusan tersebut, ujar dia, dituangkan dalam Putusan Perkara No. 04/Pid.Sus-Anak/2024/PN.Sgn, yang menyebut dua terdakwa divonis pidana penjara empat tahun plus restitusi.

“Kami berterima kasih kepada majelis hakim yang telah memutus dan memenuhi rasa keadilan yang diharapkan keluarga korban. Terdakwa terbukti sah bersalah sebagaimana Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak. Kami juga berterima kasih kepada JPU dan penyidik yang maksimal dalam pengungkapan dan pembuktian atas perbuatan terdakwa. Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran dan perhatian bagi masyarakat khususnya pondok pesantren agar lebih meningkatkan pengawasan dalam proses pembinaan,” jelasnya didampingi Thomas, SH.

Dhea menyerahkan proses berikutnya kepada JPU berkaitan upaya-upaya hukum lain setelah putusan ini. Dia menyayangkan sikap yang ditujukan pihak terdakwa yang memicu kegaduhan di ruang pengadilan karena membuat psikis orang tua korban terganggu, mengingat keluarga korban masih berduka.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Awod, menyatakan akan melakukan upaya banding atas putusan hakim. Dia berpendapat kasus ini sebenarnya selesai dua tahun lalu, ketika pelaku sudah divonis. Dia melihat sejumlah fakta persidangan yang hampir diabaikan jaksa dan diakomodasi hakim. Dia mencontohkan kedua terdakwa itu tidak melihat langsung pemukulan tetapi dalam tuntutan dianggap membiarkan. Dia mempertanyakan bagaimana membiarkan atau menolong kalau tidak tahu ketika proses penganiayaan.

“Kedua terdakwa dianggap provokator padahal tidak ada dalam bukti-bukti itu terdakwa memprovokasi. Saksi yang dihadirkan tidak mendengar provokasi yang didakwakan. Kemudian melihat hasil visum korban jauh dari penganiayaan karena di kamar korban terdapat obat sesak nafas,” jelasnya.

Dia menilai hakim kurang cermat sehingga melakukan upaya banding. Dia juga menilai sistem peradilan kurang objektif ketika ada berita viral.

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, AKBP Wahyu Nugroho Setyawan, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo