PEKALONGAN – Seorang wanita warga Kota Pekalongan mengaku telah menjadi korban mafia tanah saat mengurus sertifikat tanah waris di sebuah Kantor Notaris terkenal di daerahnya.
Namun kini sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut saling lempar tanggungjawab, dan kasus tersebut sudah diadukan ke LBH Adhiyaksa untuk mendapat pendampingan.
Koran mafia tanah, Sri Astutik (52) yang merupakan istri ahli waris mengungkapkan, awalnya tanah keluarganya seluas 5.660 meter persegi dijual ke kontraktor bernama GZ.
“Namun pihak kontraktor itu hanya memberikan uang panjar sebesar Rp 100 juta saja,” ungkap Sri Astutik (52) pada awak media, kemarin.
Namun ternyata pihak pembeli melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH), dan sempat dilakukan meditasi. Hingga akhirnya muncul tawaran kesepakatan kepada ahli waris agar bersedia dipotong tanahnya seluas 1.300 meter persegi, dengan dalih sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh pembeli.
“Pak GZ selaku pembeli mengalu telah menghabiskan uang Rp 500 kita untuk biaya menguruk tanah, itu juga belum termasuk biaya lainnya yang timbul. Padahal beliau itu belum sah jadi pemilik tanah, namun sudah berani bertindak seperti pemilik,” terang Astutik.
Bahkan, lanjut dia, berdasarkan informasi yang diterima, tanah tersebut sudah diklaim milik GZ dan sebagian juga sudah dijual lagi kepada petinggi BMT berinisial ZND seluas 1300 meter persegi. Padahal tanah tersebut secara hukum kepemilikannya ada di ahli waris.
“Sebagai tindaklanjut dari tawaran hasil mediasi, tanah seluas 5.660 atas nama almarhum Kadar dan Karmalah saya bawa ke notaris untuk diseplit jadi tiga sertifikat. Saat itu yang ngurus AK yang merupakan karyawan sekaligus anak angkat Notaris LA. Bukti tanda terima ada stempel dan tandatangan Bu Laela,” ungkapnya.
Ternyata pihak keluarga ahli waris diduga jadi objek permainan, seperti ketika hendak mengambil tiga sertifikat hasil split, ternyata hanya ada dua sertifikat yang bisa diambil. Sedangkan satu sertifikat lainnya dikatakan hilang oleh pihak notaris.
“Saya tentu menolak menerima karena hanya dua sertifikat yang bisa diambil, sedangkan satu sertifikat dibilangnya hilang. Ini semua ada permainan apa,” katanya heran.
Padahal, proses split tanah itu sendiri sudah dilakukan dari 2018-2022. Namun tiap kali keluarga ahli waris menanyakan sertifikat yang hilang itu tidak pernah mendapatkan kejelasan. Bahkan akhrnya muncul hal ganjil, luas tanah malah berkurang.
“Luas tanah sebelum di split yaitu 5.660, namun setelah dijadikan tiga sertifikat, luasnya malah berkurang 206 meter persegi. Adapun tiga tanah itu luasnya 1300, 2077 dan 2077, kalau semuanya dijumlahkan luasnya hanya 5.454 meter persegi. Kemana yang 206 meter persegi lagi,” bebenya dengan nada jengkel.
Belum selesai urusan sertifikat hilang dan tanah berkurang, muncul klaim pengajuan tanah dengan luasan yang sama atau 206 meter persegi dari pihak lain yang konon disebut sebagai tanah tidak bertuan.
Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ahmad Luthfi, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu, Kombes Pol Andhika Bayu Adhittama, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Suryadi, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, Kompol Joko Lelono, AKBP Hary Ardianto, AKBP Bronto Budiyono